
Perempuan itu Bernama Arjuna by Remy Sylado
[No.331]
Judul : Perempuan itu Bernama Arjuna
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Nuansa Cendekia
Cetakan : I, Nov 2013
Tebal : 276 hlm
ISBN : 978-602-8395-80-9
Nama Arjuna identik dengan nama seorang pria karena asal mula nama
Arjuna berasal dari salah seorang ksatria Pandawa dalam kisah
Mahabarata yang memiliki paras rupawan dan berhati lemah lembut.
Karenanya sangatlah tidak lazim jika ada seorang wanita yang bernama
Arjuna, namun ketidaklaziman itulah yang ditawarkan oleh Remy Sylado
dalam novel filsafatnya yang berjudul "Perempuan itu Bernama Arjuna".
Alih-alih menokohkan seorang pria tampan berhati lembut, dalam novelnya
ini Arjuna adalah nama dari seorang gadis berusia 25 tahun dengan wajah
yang tidak cantik.
"Saya Arjuna, Serius, ini nama perempuan, nama saya. Muasalnya, ini
kekeliruan kakek dari pihak ibu, orang Jawa asli Semarang, yang
mengharapkan saya lahir sebagai anak laki, dan untuk itu kepalang di
usia 7 bulan dalam rahim Ibu, dibuat upacara khusus dengan bubur merah
putih bagi Arjuna disertai baca-baca Weda Mantra, pusaka pustaka warisan
Sunan Kalijaga dari masa awal syiar Islam di tanah Jawa. Jadi apa boleh
buat, nama Arjuna adalah anugrah yang harus saya pakai sampai mati" (hlm 5)
Walau tidak cantik, namun Arjuna dalam novel ini digambarkan sebagai sosok perempuan pintar yang begitu percaya diri
"Saya tidak pernah merasa rendah diri atas keadaan tidak cantik dalam
takdir saya ini. Dengan bahasa sederhana, ditambah perilaku optimis,
saya ingin bilang, perempuan menjadi seratus persen wanita, semata-mata
karena perempuan memiliki yoni, kiasan ajaib yang biasa membuat lakilaki
mata ke ranjang. Itu rahasianya" (hlm.6 )
Dikisahkan Arjuna yang terlahir dari ibu berdarah Jawa dan ayah seorang
Tionghoa ini adalah seorang mahasiswi yang sedang kuliah filsafat Barat
di Amsterdam, Belanda. Ketika Arjuna mempelajari filsafat Decrates yang
berselisih pandang tentang eksistensi Tuhan hal ini membuatnya tertarik
untuk mengambil jurusan teologi apologetik. Sebuah pilihan yang 'aneh'
karena Arjuna adalah seorang muslim, keanehan ini terungkap dalam
dialognya dengan dosennya :
"Kenapa tertarik belajar apologetik? Apologetik itu
pertanggungjawaban iman Kristen atas serangan filsafat yang dibilang
sekular. Bidang itu lebih banyak digeluti pihak Protestan.." (hlm. 84)
"Ya, profesor, saya tahu," kata saya. "Saya cuman mau belajar
ilmunya as sich. Menurut saya, sikap terhadap ilmu haruslah bebas, tidak
diganggu oleh prasangka-prasangka rasial, tribal, etnis, dan
religionitas" (hlm 85)
Akhirnya Arjuna memang mengambil jurusan apologetik, dosennya adalah
seorang Pastor Jesuit bernama Jean-Calude van Damme yang telah berusia
62 tahun. Ketertarikan pada apologetika ditambah gaya mengajar sang
Pastor membuat Arjuna lambat laun jatuh cinta pada dosennya itu demikian
pula dengan sang Pastor yang ternyata menaruh perhatian lebih pada
Arjuna. Diskusi filsafat antara Arjuna dengan dosen dan teman-teman
kuliahnya diselingi kisah laku asmara antara Arjuna dan sang pastor
inilah yang mewarnai novel filsafat ini.
Novel ini mengulas lebih dari 150 sosok filsuf, mulai dari filsuf
Yunani kuno seperti Aristoteles, Socrates, Plato, hingga filsuf modern
seperti Nietze, Sartre, Focault, dll beserta pemikiran-pemikirannya
sehingga pembaca diajak melihat bagaimana kehidupan dan lahirnya metode
pemikiran-pemikiran filsafat dari para filsuf tersebut. Dengan luasnya
penulis mengurai para filsuf dan pemikirannya ini maka pantaslah kalau
novel ini dilabeli penerbitnya sebagai "bukan bacaan ringan". Tidak
melulu tokoh-tokoh filsuf di novel ini juga kita akan bertemu dengan
tokoh-tokoh non filsuf mulai dari presiden, tokoh politik, sastrawan,
seniman, artis/aktor, dll. Kesemua tokoh (213 nama) baik filsuf dan non
filsuf diberi catatan pelengkap di akhir halaman sehingga membantu
pembaca memahami sipa tokoh yang dimaksud.
Karena novel ini mengisahkan Arjuna yang akhirnya memilih mengambil
jurusan Apologetika maka bahasan apologetik menjadi bahasan utama dalam
novel ini. Yang menarik di sini Arjuna mendapat pengajaran dari dua
dosen yang berbeda pandangan, yang pertama dari Prof. Van Dame, seorang
pastor Jesuit, dan kemudian dari Prof Craig Cox.
Jika Prof Van Dame mengkaji apologetik terhadap serangan para filsuf antiteisme
(ateisme teoritis ) seperti Facoult, Derrida, Jean Paul Sartre,
Nietzhe, dll, maka Prof. Craig Cox mengkaji apologetik dari serangan
para filsuf agnokitisme (agnostis, orang yang tidak punya gnosis,
atau pengetahuan tentang Allah) yang dibahas secara cendekia oleh
Auguste Comte, Herbert Spencer, Thoman Paine, dll. Jadi melalui novel
ini pembaca mendapat gambaran yang utuh bagaimana apologetik dikaji dari
dua sisi yang berbeda.
Walau sarat dengan dialog filsafat untungnya Remy Sylado menghadirkan
dialog-dialog tersebut dengan kalimat-kalimat yang sederhana namun padat
sehingga materi filsafat di novel ini menjadi lebih mudah dimengerti
dibanding membaca buku literatur filsafat. Bagi pembaca yang 'melek'
filsafat tentunya tidak sulit memahami novel ini, namun bagi mereka yang
'buta' filsafat saya rasa walau sudah disederhanakan oleh penulisnya
namun tetap saja akan membuat pembaca mengerutkan kening atau mengalami
kebosanan ketika membaca bagian dialog-dialog filsafat antara Arjuna dan
dosen-dosennya yang bertebaran di novel ini.
Untungnya penulis menyelipkan celetukan-celetukan humor khas Remy
Sylado yang diwakili oleh tokoh Arjuna terkait gaya hidup seksualitas,
dan pandangan-pandangannya akan apa yang ia alami dan rasakan selama
kuliah di Amsterdarm. Selain itu kisah bagiamana kisah cinta antara
Prof. Van Dame dan Arjuna yang berbeda budaya, agama, dan rentang usia
yang sangat lebar ( 40 tahunan) menjadi sebuah hal yang menarik dan
penyegar saat suntuk membaca materi filsafat novel ini.
Yang menarik, dengan piawa penulis mengaitkan perbedaan agama antara
Arjuna dan Van Dame dengan kehidupan beragama di Indonesia terkait
dengan diperolehnya anugerah World Statsman Award dari Appeal or
Conscience Foundation kepada Presiden SBY pada 20 Mei 2013. Anugerah itu
diberikan karena SBY dianggap mampu mempromosikan kebebasan beragama
dan menjaga toleransi antarumat di Indonesia. Penghargaan ini menulai
kontroversi karena tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di
Indonesia. Tidak hanya dari dalam negeri, penghargaan ini juga
dipertanyakan oleh Human Right Watch Asia karena SBY pada kenyataannya
gagal meredam kekerasan terhadap kaum minoritas penganut Ahmadiyah,
kaum Syiah, dan 50 gereja yang ditutup paksa pada 2012.
Dalam menanggapi hal ini, pemikiran penulis yang diwakili oleh tokoh Prof Van Dame memberikan pendapatnya sebagai berikut :
"Di Indonesia keyakinan yang bersifat individual - dan harusnya
memang begitu sebab keyakinan tentang keselamatan adalah keputusan
individual - diperkosa oleh lambang-lambang statistik dari golongan
mayoritas. Ini masalah serius HAM" (hlm 199)
Selain hal di atas masih banyak hal-hal yang menarik dalam novel yang
sebagian besar berisi ceramah dan diskusi tentang filsafat ini. Walau
mungkin novel ini berpotensi menimbulkan kebosanan saat membacanya namun
bagi pembaca yang tekun dan sabar untuk menyelesaikan novel ini hingga
lembar terakhir maka niscaya akan menemukan nilai-nilai falsafah
kehidupan, kesusasteraan, humor-humor satir, dan celotehan2 'nakal'dari
Arjuna yang kadang terkesan vulgar yang membuat kita terseyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Akhir kata, bagi mereka yang ingin mengetahui filsafat secara umum novel
ini bisa menjadi sebuah pengantar atau pintu masuk yang tepat untuk
mempelajari filsafat lebih dalam lagi. Sedangkan bagi mereka yang telah
menggeluti filsafat secara mendalam novel ini akan mereview apa yang
telah dipelajarinya sekaligus memberi pengalaman baru dalam membaca
filsafat yang dikemas menjadi sebuah novel. Filsafat dalam fiksi!
@htanzil
Menurut Remy Sylado dlm twitternya, jilid 2 Perempuan Bernama Arjuna akan terbit pada Juli 2014
Source : http://bukuygkubaca.blogspot.com/